Badan Pusat Statistika
(BPS) mencatat impor beras naik hampir lima kali lipat pada tahun ini.
Sepanjang Januari hingga September, 1,14 juta ton beras impor masuk ke tanah
air. Pada periode yang sama di tahun lalu, jumlah impor beras sebesar 229.611
ton. Kementerian Pertanian (Kementan) berdalih, impor beras itu hanya beras
premium untuk menyuplai kebutuhan hotel, restoran, dan kafe. (Solopos, 31
Oktober 2016)
Data BPS itu
berbenturan dengan data stok beras nasional. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman
menyebut stok beras nasional yang mencapai 2,06 juta ton itu cukup untuk
memenuhi kebutuhan hingga Mei 2017. Lantas, mengapa harus impor beras tatkala
di rumah sendiri beras nasional sudah tersedia? Mengapa tidak menyuplai
kebutuhan hotel, restoran, dan kafe dengan beras produksi dalam negeri saja?
Kita mudah menduga,
terdapat permainan di belakangnya. Namun yang pasti, nasib pertanian dalam
catatan sejarah selalu bergantung dengan kebijakan pemerintah. Sampai saat ini,
tak banyak pemimpin negara yang memahami bahwa pertanian telah mengakar jauh
sebelum “Indonesia” ditemukan. Pertanian sebagai warisan leluhur yang menjadi
kekhasan negeri ini tak mendapatkan tempat banyak dalam kebijakan. Mimpi
kesejahteraan petani dan swasembada pangan hanya sebatas retorika kosong.
Petani
itu alami
Penduduk pra-Indonesia dikenal
sebagai penggarap sawah yang pandai dan begitu mencintai tanahnya. Kita bisa
membuka kembali laporan Multatuli dalam opus
magnum-nya berjudul Max Havelaar
(2014). Multatuli mencatat, secara alami orang Jawa adalah petani. Tanah tempat
mereka dilahirkan memberi hasil berlimpah untuk hidup. Mereka dibesarkan di
tengah sawah, gagah, dan tipar. Tak sekadar pangan, sawah memberi
mereka kegembiraan masa kecil, belajar memahami alam, menghitung usia, juga
peruntungan jodoh. Kita simak petikannya: “Secara alami, orang Jawa adalah
petani; tanah tempat mereka dilahirkan, yang memberikan hasil berlimpah dengan
sedikit tenaga, memikat mereka dan, yang terutama, mereka membaktikan seluruh
hari serta jiwa mereka untuk menggarap sawah, dan dalam hal ini, mereka sangat
pandai [...] mereka menghitung usia berdasarkan panen; memperkirakan waktu
berdasarkan warna dedaunan di sawah. Mereka merasa nyaman berada di antara
teman-teman yang memotong padi bersama mereka; mereka memilih istri di antara
gadis-gadis desa yang setiap malam menumbuk padi sambil bernyanyi gembira.”
(hal. 88-89)
Multatuli menyamakan
kondisi pertanian pra-Indonesia ini dengan kondisi pemanenan anggur di
sepanjang Sungai Rhine dan di selatan Perancis. Namun, harmoni petani dan tanah
itu berubah sejak datangnya kaum kolonialis. Melalui kokangan senjata dan
peraturan, kolonialis mengangkat diri sebagai pemilik tanah, dan orang pribumi diperintahkan
untuk menggarap tanahnya sendiri demi mengumpulkan keuntungan bagi kolonial.
Saat Indonesia merdeka
17 Agustus 1945, UU Agraria 1870 (Agrarische
Wet) yang diteken untuk kepentingan kolonial dicabut atas nama kemerdekaan.
Soekarno sebagai inisiator ideologi marhaenisme yang memayungi petani dan buruh
sadar, bahwa revolusi hanya omong-omong jika perut rakyatnya kosong. Melalui landreform, petani dipertemukan kembali
dengan tanah telah melahirkan dan memberi keberlimpahan hidup melalui
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA).
Sayangnya, masa indah
itu harus bubar seiring robohnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Soeharto
sebagai presiden selanjutnya menjadi algojo atas payung hukum UUPA, dan diganti
Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Peraturan inilah yang membangkitkan
kembali penguasaan tanah oleh segelintir pihak. Sejumlah tuan tanah dengan
permodalan besar kembali mengakuisisi tanah-tanah mereka, bahkan mendapatkan
dukungan langsung militer.
Program Revolusi Hijau pun
dipancangkan. Sebuah mahakarya Orba yang menjadi mercusuar bagi penggenjotan
produksi pertanian bernafas kapital. Dalam program ini, dimulailah impor benih,
pupuk kimia, dan traktor atas nama percepatan pembangunan di bidang pangan. Padahal,
di satu sisi, dalam waktu yang panjang, bahan-bahan itu tak saja merusak tanah,
tapi juga melemahkan ikatan masyarakat petani dengan tanah. Revolusi Hijau
telah memindahkan kendali atas sumber daya tanaman dari tangan petani ke tangan
perusahaan bibit multinasional dan badan penelitian raksasa seperti CIMMYT dan IRRI
(Morgan dalam Faqih, 1997) Di era reformasi, petani justru harus berjuang
mempertahankan tanahnya dari deru pembangunan. Lahan pertaniannya terancam
berubah menjadi pabrik, mal, toko, hingga perumahan.
Jika kini Perancis
telah menjadi salah satu produsen terbaik minuman anggur di dunia, bagaimana
dengan pertanian kita? Jangankan soal swasembada pangan, soal kemiskinan, kriminalisasi,
pembunuhan, dan kisruh lahan saja masih berjubel banyaknya. Padahal, (menjadi) petani
di tanah ini, sebagaimana ditulis Multatuli, adalah bawaan alamiah! Soekarno
pun mengedepankan tani sebagai penyokong agenda revolusi.
E. Stiglitz, ekonom
peraih Nobel, mengatakan bahwa kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakat adalah
buah dari pilihan-pilihan dan keberpihakan pemerintah yang mewujud dalam
kebijakan-kebijakannya. Ironis jika mengingat pemerintahan sekarang yang lahir
dari rahim pemikiran Soekarno, justru bernafsu kerja menggiatkan pembangunan
industri dan investasi perusahaan, bukan mengembalikan marwah pertanian.
Padahal, sebelum maju pilpres, ia sempat meminta restu di makam Soekarno. Eling,
Pak, eling!
Solopos, 1 November 2016
Solopos, 1 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar