Home » » Melawan Identitas Tunggal

Melawan Identitas Tunggal


Judul               : Kekerasan dan Identitas
Pengarang       : Amartya Sen
Penerbit           : Marjin Kiri
Cetakan I        : Februari, 2016
Tebal               : i-xxii + 242 hlm, 14x20,3 cm
ISBN               : 978-979-1260-54-1

Identitas tunggal yang diagung-agungkan telah banyak menciptakan konflik komunal di berbagai belahan dunia. Dari konflik warga Hutu dan Tusti di Rwanda, Serbi dan Albania, hingga Tamil dan Sinhala di Srilanka. Di Indonesia juga pernah terjadi konflik komunal antara suku Dayak dan suku Madura. Kejadian-kejadian getir itu menggerakkan hati Amartya Sen untuk membuat tulisan-tulisan dan berceramah sebagai usaha menghentikan konflik komunal berbasis identitas tunggal.

Buku Kekerasan dan Identitas menjadi pengejawantahan niat Sen menghentikan konflik di masa depan. Sen menjadi saksi pembantaian tak beradab saat konflik agama antara Hindu dan Muslim. Mereka yang pada bulan Januari adalah bagian dari umat manusia secara umum, pada bulan Juli tiba-tiba berubah menjadi kubu Hindu yang kejam dan Muslim yang garang. Digerakkan oleh para komandan pembantaian, ratusan ribu nyawa melayang di tangan orang-orang yang membunuh orang lain atas nama “kelompok kami.” (hal. 4)

Sen membedah dua kesalahan mendasar yang kerap dilakukan manusia dengan identitasnya. Pertama, persepsi tentang adanya ketunggalan identitas yang mengaburkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kompleksitas relasi dengan sesuatu di luar dirinya. Kedua, persepsi bahwa identitas adalah temuan, meski kenyataannya adalah pilihan.

Sen mengambil Muslim sebagai contohnya. Pasca teror di menara kembar WTC, orang beridentitas Muslim seolah disudutkan dengan mengidentikkan Muslim sebagai terorisme. Terkait hal itu, Sen menulis: “Saat ini penting sekali untuk mencermati perbedaan antara (1) memandang kaum Muslim semata-mata – atau terutama – dalam kerangka keIslaman mereka, dan (2) memahami mereka secara lebih luas dalam kerangka afiliasinya yang beragam (hlm. 91)

Tesis Sen sekaligus menolak tesis yang diajukan Samuel Huttington mengenai benturan antarperadaban. Menurut Huttington, Islam dan Barat adalah dua entitas peradaban yang berseberangan. Sedangkan Sen melihat, pokok identitas tidak sekadar pembakuan atas nama agama, suku, atau kelompok. Ada peran-peran kekuasaan yang membuat sengketa tak mudah dijelaskan, tak sekadar disebut sebagai benturan antarperadaban.

Kekerasan yang dipicu oleh identitas tunggal diboncengi keinginan untuk mengokohkan diri sebagai yang terbaik daripada yang lain. Sen mewanti-wanti agar manusia tidak terjebak dalam penghambaan berlebih pada identitas tunggal yang absolut. Pemahaman akan identitas harus digali lebih mendalam dan komprehensif.

Meski begitu, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa akar konflik semata-mata identitas. “Dalam konteks perjuangan perdamaian global, kita mesti memahami secara jernih bagaimana kemiskinan, keterampasan hak, pengabaian, serta penghinaan sebagai imbas dari asimetri kekuasaan. Konfrontasi didasarkan oleh kekecewaan terhadap orang-orang (dari) kalangan atas dalam suatu dunia yang penuh dengan pemilahan identitas.” (hal. 185)

Gagasan Amartya Sen sangat relevan bagi perkembangan dunia saat ini, khususnya Indonesia. Keanekaragaman suku, budaya, dan agama menyimpan potensi konflik komunal seperti di India atau Rwanda. Apalagi, telah terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial yang besar di dalam masyarakat Indonesia. Buku ini bisa menjadi pencerdasan bagi banyak pihak agar memahami identitasnya secara mendalam sehingga konflik komunal tidak terjadi lagi.


Sudah terlalu banyak korban yang mati sia-sia hanya karena ingin menunjukkan kelompok siapa yang paling hebat. Padahal, segalanya tetap absurd. Kekuasaan hanya dimiliki segelintir orang saja. Kedamaian dunia adalah keniscayaan, selama tak ada salah satu golongan pun yang merasa dirinya lebih unggul daripada liyan.


Radar Surabaya, 13 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar