Judul : Kerumunan Terakhir
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Tebal : 360 hlm; 20 cm
ISBN :
978-602-03-2543-9
Berkembangnya
teknologi mendorong manusia memasuki ruang artifisial dalam bentuk
digitalisasi dan visualisasi. Aktivitas manusia direduksi pada sebuah layar
kecil bernama televisi, radio, gawai, dan sejenisnya. Sayangnya,
perkembangan teknologi mutakhir itu tidak dibarengi dengan kedewasaan pengguna.
Realitas asli pun kehilangan substansi, tergantikan oleh realitas buatan atau
hiperealitas jika meminjam istilah Jean Baudrillard. Wajah kultural masyarakat milenial mampat dalam ruang simulakra. Etika digerus estetika, fakta
dikalahkan citra, dan esensial dibabat artifisial.
Melalui
novel Kerumunan Terakhir, Okky
Madasari menyalakan alarm peringatan. Menjejaki tiap etape cerita, pembaca akan
tahu, bahwa masalah yang ditampilkan dalam novel berangkat dari kisah nyata. Mulai
dari mengukur eksistensi diri melalui liker
dan jumlah followers, kepercayaan
buta pada apa yang ditampil di layar, dan kekerasan verbal di dunia maya. Kegagapan para tokoh dalam novel menjadi sajian utama
yang patut disimak serius.
Jayanegara didaulat sebagai tokoh utama cerita yang mewakili persoalan manusia
milenial. Jaya adalah seorang pemuda yang bernasib sial di
dunia nyata. Seorang mahasiswa yang tidak lulus kuliah, penakut, dan pengangguran. Persentuhannya
dengan teknologi, khususnya jejaring sosial, merubah kehidupan Jayanegara yang
berambisi meraup perhatian. Melalui akun bernama Matajaya, Jaya dikenal sebagai pria yang hebat, seorang ahli beladiri,
pemain film, dan fotografer terkenal di New York. Ia pun menjadi sosok yang
terkenal, hebat, dan dihujani banyak acungan jempol.
Dalam
banyak kajian psikologis, eksistensi manusia berbanding lurus dengan
kebahagiaan. William Glasser dan Abraham Maslow, dua tokoh psikolog pun sepakat
menempatkan “Love and Belonging” sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus
terpenuhi. Sayangnya, menjejaki tangga eksistensi harus dibumbui dengan
kebohongan dan citra. Dan parahnya, banyak orang yang percaya. Kita bisa
saksikan, kasus-kasus kriminal seperti penipuan, pelecehan seksual, bahkan
pembunuhan dijembatani oleh kepercayaan buta pada realitas citraan tersebut.
Sentuhan Moral
Okky jeli melihat fenomena kejumudan berpikir generasi milenial sebagai buah
ketergantungan diri pada teknologi yang memudahkan banyak hal. Kemalasan
berpikir itu berujung pada tindakan-tindakan yang reaktif, lompatan logika,
falasi, dan merasa paling benar sendiri. Tiap kali ada isu sensitif yang
berhembus—entah benar atau salah—orang-orang ramai bereaksi, menyebarkan, dan
tidak sungkan menghina. “Menghajar dengan tangan adalah kekerasan, sementara menghajar
dengan kata-kata adalah kebebasan” (hal. 179)
Sisi gelap teknologi juga menjangkiti koran dan pemberitaan. Koran daring (online) bak cendawan di musim hujan karena kemudahan yang ditawarkan
teknologi mutakhir. Setiap orang menjadi produsen informasi demi mengeruk
keuntungan. Okky menyoroti semakin merebaknya media daring yang mengeksploitasi informasi yang vulgar,
dangkal, banal, dan seksual. “Yang muncul di baris pertama pencarianku justru koran-koran online. Aku
segera membukanya. Sejak kapan ada gambar-gambar porno di tempat seperti ini?”
(hal. 346)
Novel
ini mengingatkan pada buku terkenal karya futurolog John Naisbitt berjudul High Tech, High Touch (2001). Kecanggihan dan kemajuan teknologi
seharusnya dibarengi dengan sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang
juga tinggi. Tanpa itu, sebuah teknologi justru akan menjadi senjata penghancur
yang mengerikan. Sejarah mencatat, penemuan teknologi atom oleh Alfred Nobel yang
dicita-citakan untuk menunjang kehidupan manusia justru dipergunakan untuk
membinasakan manusia atas nama eksistensi sebuah negara.
Melalui
novel ini, kita diajak untuk merefleksikan ulang hubungan manusia dengan
teknologi. Bukankah teknologi dicipta untuk memperbaiki kehidupan manusia? Kita patut berduka jika yang terjadi justru sebaliknya.
Termuat di Solopos, 4 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar