Sertifikasi dan
pemberian tunjangan profesi guru dinilai baru menyentuh aspek peningkatan
kesejahteraan guru. Sedangkan peningkatan mutu dan kinerja guru masih belum
merangkak secara signifikan. Realitas menyedihkan ini dibuktikan dalam kajian
riset yang dilakukan oleh Joppe de Ree, Karthik Muralidharan, Menno Pradhan,
dan Halsey Rogers (2015) dengan judul Double
for Nothing? Experimental Evidence on the Impact of an Unconditional Teacher
Salary Increase on Student Performance in Indonesia. Penelitian ini mengambil
sampel yang cukup besar, yakni melibatkan 3.000 guru dan 8.000 siswa. Selain
itu, dari hasil uji kompetensi guru (UKG) yang diikuti 2.699.516 guru, hanya
enam persen saja yang lulus dengan nilai rata-rata 56,69. (Kompas, 30/08/2016)
Kondisi ini cukup
membingungkan, sebab di satu sisi muncul pula tuntutan para guru honorer agar
mendapatkan sertifikasi. Berbekal sertifikasi, profesi guru mendapatkan gaji
bulanan dan tunjangan yang besar. Sayangnya, kesejahteraan tersebut lebih
banyak mewujud dalam bentuk-bentuk material yang tidak berhubungan dengan
peningkatan profesionalitas. Kondisi
tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Namun, melalui kajian riset cukup
mendalam tersebut, kita benar-benar melihat kondisi pendidikan kita yang rapuh.
Secara struktural,
kondisi mentalitas guru Indonesia berkait kelindan dengan pelaksanaan kurikulum
di sekolah sejak dulu. Meski sistem pendidikan Indonesia kerap dibenahi, namun
tidak menyentuh hingga ke akarnya. Kurikulum nasional berorientasi sempit
dengan mengekang dan mengarahkan siswa pada orientasi material yang mewujud
dalam nilai di atas kertas. Pengekangan itu dilegitimasi lewat banyaknya tugas
praktis. Alhasil, waktu untuk mendalami suatu mata pelajaran hingga tahap
reflektif pun terampas.
Belajar dimaknai
sebatas sekolah. Sedangkan sekolah dimaknai sebatas pencapaian nilai-nilai di
atas kertas . Sadar atau tidak, kita telah mewarisi kultur tersebut. Prestasi
siswa di sekolah ditentukan oleh akumulasi jumlah rata-rata nilai tiap mata
pelajaran. Pun juga dengan cap “sekolah favorit” juga ditentukan dari angka
akreditasi. Kita pun dipaksa melahap soal-soal ujian dan buku-buku yang memuat
kisi-kisi ujian daripada buku-buku sastra, humaniora, atau sejarah yang kerap
tidak muncul di soal-soal penentu “nilai”. Sekolah bukan lagi menjadi langkah
mencapai dunia keilmuan dan pemikiran yang mengontruksi perbaikan.
Membaca dan menulis
sekadar diajarkan, tetapi tidak dibudayakan sebagai inti dari (ber) sekolah.
Capaian (ber)sekolah lebih mengarah pada kesetaraan akademik-administratif
dengan tanda bukti ijazah atau surat kelulusan. Pendek kata, sekolah mewarisi
mental belajar administratif: ujian, lulus, dan kerja. (Setyaningsih, 2016)
Ketika seseorang telah lulus sekolah, maka turut selesai pula belajarnya. Sekalipun
telah menjadi guru yang berkecimpung di ranah pendidikan dan intelektual, tapi orientasi
mengejar hal-hal material lebih besar daripada kehausan akan ilmu pengetahuan.
Guru tidak lagi memperbaharui kasanah keilmuannya, namun justru berfokus pada
bagaimana meningkatkan pendapatan gaji dari pekerjaannya.
Terus
Belajar
Ada sebuah film yang
saya kira patut untuk ditonton oleh calon guru maupun guru itu sendiri. Film
berjudul School of Rock mengajarkan kita
bahwa kurikulum dan nilai di atas kertas adalah kesalahan terbesar dalam
memaknai arti pendidikan. Alkisah, Dewey Finn menyamar sebagai guru pengganti
di sekolah borjuis guna memperoleh uang untuk membayar sewa apartemen. Saat
masuk kelas pertama kali, Dewey terkejut karena melihat tembok yang penuh dengan
bintang dan titik hitam. Bintang berarti prestasi, sedang titik hitam berarti
kesalahan. Mengetahui hal itu, Dewey langsung membredelnya. Bila sekolah hanya
demi nilai, maka percuma saja. Sebab “value” dan “fail you” terdengar sama saat
diucapkan. Dewey pun merevolusi pembelajaran di dalam kelas. Seluruh murid yang
sebelumnya belajar musik klasik untuk mencapai nilai tertinggi, diarahkan
bermain musik rock yang sesuai dengan
gairah para murid. Mereka membentuk band
rock dan mengikuti kompetisi. Saat mengetahui band asuhannya kalah, Dewey
marah besar. Tapi murid-muridnya justru mengingatkan: “Ini semua bukan soal
nilai!”
Dari film itu, kita
mendapati sebuah pelajaran sekaligus kritik dari praktik pendidikan kita yang
telah mengakar lama. Pendidikan seharunys tidak dikekang oleh kurikulum, dan
tidak pula ditakar keberhasilannya dari angka-angka. Pendidikan bukan
kerangkeng yang memenjarakan murid-murid dalam sel bernama kelas. Pendidikan
bukanlah berorientasi nilai angka-angka, namun proses yang mendorong siswa
memaknai bakat dan minatnya tanpa diselimuti oleh bayang-bayang stigma sebagai
pelajar bodoh. Belajar tidak hanya di sekolah, namun belajar bisa di mana saja,
kapan saja.
Ilmu pengetahuan terus
berubah dari waktu ke waktu. Teori dan kajian terus merevisi diri. Tantangan
dunia pun makin lama makin kompetitif. Calon guru dan guru harusnya terus
mengikuti perkembangan intelektual tersebut. Tak henti untuk belajar demi
mengakumulasi pengetahuan sebanyak-banyaknya. Jika guru sekadar menerjemahkan
kurikulum nasional secara kaku tanpa melibatkan pembaruan-pembaruan sesuai
dengan tantangan, akan jadi apa Indonesia di masa depan?
Tribun Jateng, 20 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar