Sentuhan Moral Generasi Milenial


Judul               : Kerumunan Terakhir
Pengarang       : Okky Madasari
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun              : 2016
Tebal               : 360 hlm; 20 cm
ISBN               : 978-602-03-2543-9

Berkembangnya teknologi mendorong manusia memasuki ruang artifisial dalam bentuk digitalisasi dan visualisasi. Aktivitas manusia direduksi pada sebuah layar kecil bernama televisi, radio, gawai, dan sejenisnya. Sayangnya, perkembangan teknologi mutakhir itu tidak dibarengi dengan kedewasaan pengguna. Realitas asli pun kehilangan substansi, tergantikan oleh realitas buatan atau hiperealitas jika meminjam istilah Jean Baudrillard. Wajah kultural masyarakat milenial mampat dalam ruang simulakra. Etika digerus estetika, fakta dikalahkan citra, dan esensial dibabat artifisial.

Melalui novel Kerumunan Terakhir, Okky Madasari menyalakan alarm peringatan. Menjejaki tiap etape cerita, pembaca akan tahu, bahwa masalah yang ditampilkan dalam novel berangkat dari kisah nyata. Mulai dari mengukur eksistensi diri melalui liker dan jumlah followers, kepercayaan buta pada apa yang ditampil di layar, dan kekerasan verbal di dunia maya. Kegagapan para tokoh dalam novel menjadi sajian utama yang patut disimak serius.

Jayanegara didaulat sebagai tokoh utama cerita yang mewakili persoalan manusia milenial. Jaya adalah seorang pemuda yang bernasib sial di dunia nyata. Seorang mahasiswa yang tidak lulus kuliah, penakut, dan pengangguran. Persentuhannya dengan teknologi, khususnya jejaring sosial, merubah kehidupan Jayanegara yang berambisi meraup perhatian. Melalui akun bernama Matajaya, Jaya dikenal sebagai pria yang hebat, seorang ahli beladiri, pemain film, dan fotografer terkenal di New York. Ia pun menjadi sosok yang terkenal, hebat, dan dihujani banyak acungan jempol.

Dalam banyak kajian psikologis, eksistensi manusia berbanding lurus dengan kebahagiaan. William Glasser dan Abraham Maslow, dua tokoh psikolog pun sepakat menempatkan “Love and Belonging” sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Sayangnya, menjejaki tangga eksistensi harus dibumbui dengan kebohongan dan citra. Dan parahnya, banyak orang yang percaya. Kita bisa saksikan, kasus-kasus kriminal seperti penipuan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan dijembatani oleh kepercayaan buta pada realitas citraan tersebut.

Sentuhan Moral
Okky jeli melihat fenomena kejumudan berpikir generasi milenial sebagai buah ketergantungan diri pada teknologi yang memudahkan banyak hal. Kemalasan berpikir itu berujung pada tindakan-tindakan yang reaktif, lompatan logika, falasi, dan merasa paling benar sendiri. Tiap kali ada isu sensitif yang berhembus—entah benar atau salah—orang-orang ramai bereaksi, menyebarkan, dan tidak sungkan menghina. “Menghajar dengan tangan adalah kekerasan, sementara menghajar dengan kata-kata adalah kebebasan” (hal. 179)

Sisi gelap teknologi juga menjangkiti koran dan pemberitaan. Koran daring (online) bak cendawan di musim hujan karena kemudahan yang ditawarkan teknologi mutakhir. Setiap orang menjadi produsen informasi demi mengeruk keuntungan. Okky menyoroti semakin merebaknya media daring yang mengeksploitasi informasi yang vulgar, dangkal, banal, dan seksual. “Yang muncul di baris pertama pencarianku justru koran-koran online. Aku segera membukanya. Sejak kapan ada gambar-gambar porno di tempat seperti ini?” (hal. 346)

Novel ini mengingatkan pada buku terkenal karya futurolog John Naisbitt berjudul High Tech, High Touch (2001). Kecanggihan dan kemajuan teknologi seharusnya dibarengi dengan sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang juga tinggi. Tanpa itu, sebuah teknologi justru akan menjadi senjata penghancur yang mengerikan. Sejarah mencatat, penemuan teknologi atom oleh Alfred Nobel yang dicita-citakan untuk menunjang kehidupan manusia justru dipergunakan untuk membinasakan manusia atas nama eksistensi sebuah negara.


Melalui novel ini, kita diajak untuk merefleksikan ulang hubungan manusia dengan teknologi. Bukankah teknologi dicipta untuk memperbaiki kehidupan manusia? Kita patut berduka jika yang terjadi justru sebaliknya.


Termuat di Solopos, 4 Desember 2016

Melawan Identitas Tunggal


Judul               : Kekerasan dan Identitas
Pengarang       : Amartya Sen
Penerbit           : Marjin Kiri
Cetakan I        : Februari, 2016
Tebal               : i-xxii + 242 hlm, 14x20,3 cm
ISBN               : 978-979-1260-54-1

Identitas tunggal yang diagung-agungkan telah banyak menciptakan konflik komunal di berbagai belahan dunia. Dari konflik warga Hutu dan Tusti di Rwanda, Serbi dan Albania, hingga Tamil dan Sinhala di Srilanka. Di Indonesia juga pernah terjadi konflik komunal antara suku Dayak dan suku Madura. Kejadian-kejadian getir itu menggerakkan hati Amartya Sen untuk membuat tulisan-tulisan dan berceramah sebagai usaha menghentikan konflik komunal berbasis identitas tunggal.

Buku Kekerasan dan Identitas menjadi pengejawantahan niat Sen menghentikan konflik di masa depan. Sen menjadi saksi pembantaian tak beradab saat konflik agama antara Hindu dan Muslim. Mereka yang pada bulan Januari adalah bagian dari umat manusia secara umum, pada bulan Juli tiba-tiba berubah menjadi kubu Hindu yang kejam dan Muslim yang garang. Digerakkan oleh para komandan pembantaian, ratusan ribu nyawa melayang di tangan orang-orang yang membunuh orang lain atas nama “kelompok kami.” (hal. 4)

Sen membedah dua kesalahan mendasar yang kerap dilakukan manusia dengan identitasnya. Pertama, persepsi tentang adanya ketunggalan identitas yang mengaburkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kompleksitas relasi dengan sesuatu di luar dirinya. Kedua, persepsi bahwa identitas adalah temuan, meski kenyataannya adalah pilihan.

Sen mengambil Muslim sebagai contohnya. Pasca teror di menara kembar WTC, orang beridentitas Muslim seolah disudutkan dengan mengidentikkan Muslim sebagai terorisme. Terkait hal itu, Sen menulis: “Saat ini penting sekali untuk mencermati perbedaan antara (1) memandang kaum Muslim semata-mata – atau terutama – dalam kerangka keIslaman mereka, dan (2) memahami mereka secara lebih luas dalam kerangka afiliasinya yang beragam (hlm. 91)

Tesis Sen sekaligus menolak tesis yang diajukan Samuel Huttington mengenai benturan antarperadaban. Menurut Huttington, Islam dan Barat adalah dua entitas peradaban yang berseberangan. Sedangkan Sen melihat, pokok identitas tidak sekadar pembakuan atas nama agama, suku, atau kelompok. Ada peran-peran kekuasaan yang membuat sengketa tak mudah dijelaskan, tak sekadar disebut sebagai benturan antarperadaban.

Kekerasan yang dipicu oleh identitas tunggal diboncengi keinginan untuk mengokohkan diri sebagai yang terbaik daripada yang lain. Sen mewanti-wanti agar manusia tidak terjebak dalam penghambaan berlebih pada identitas tunggal yang absolut. Pemahaman akan identitas harus digali lebih mendalam dan komprehensif.

Meski begitu, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa akar konflik semata-mata identitas. “Dalam konteks perjuangan perdamaian global, kita mesti memahami secara jernih bagaimana kemiskinan, keterampasan hak, pengabaian, serta penghinaan sebagai imbas dari asimetri kekuasaan. Konfrontasi didasarkan oleh kekecewaan terhadap orang-orang (dari) kalangan atas dalam suatu dunia yang penuh dengan pemilahan identitas.” (hal. 185)

Gagasan Amartya Sen sangat relevan bagi perkembangan dunia saat ini, khususnya Indonesia. Keanekaragaman suku, budaya, dan agama menyimpan potensi konflik komunal seperti di India atau Rwanda. Apalagi, telah terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial yang besar di dalam masyarakat Indonesia. Buku ini bisa menjadi pencerdasan bagi banyak pihak agar memahami identitasnya secara mendalam sehingga konflik komunal tidak terjadi lagi.


Sudah terlalu banyak korban yang mati sia-sia hanya karena ingin menunjukkan kelompok siapa yang paling hebat. Padahal, segalanya tetap absurd. Kekuasaan hanya dimiliki segelintir orang saja. Kedamaian dunia adalah keniscayaan, selama tak ada salah satu golongan pun yang merasa dirinya lebih unggul daripada liyan.


Radar Surabaya, 13 November 2016

Keberpihakan dan Mimpi Swasembada Pangan


Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat impor beras naik hampir lima kali lipat pada tahun ini. Sepanjang Januari hingga September, 1,14 juta ton beras impor masuk ke tanah air. Pada periode yang sama di tahun lalu, jumlah impor beras sebesar 229.611 ton. Kementerian Pertanian (Kementan) berdalih, impor beras itu hanya beras premium untuk menyuplai kebutuhan hotel, restoran, dan kafe. (Solopos, 31 Oktober 2016)

Data BPS itu berbenturan dengan data stok beras nasional. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman menyebut stok beras nasional yang mencapai 2,06 juta ton itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Mei 2017. Lantas, mengapa harus impor beras tatkala di rumah sendiri beras nasional sudah tersedia? Mengapa tidak menyuplai kebutuhan hotel, restoran, dan kafe dengan beras produksi dalam negeri saja?

Kita mudah menduga, terdapat permainan di belakangnya. Namun yang pasti, nasib pertanian dalam catatan sejarah selalu bergantung dengan kebijakan pemerintah. Sampai saat ini, tak banyak pemimpin negara yang memahami bahwa pertanian telah mengakar jauh sebelum “Indonesia” ditemukan. Pertanian sebagai warisan leluhur yang menjadi kekhasan negeri ini tak mendapatkan tempat banyak dalam kebijakan. Mimpi kesejahteraan petani dan swasembada pangan hanya sebatas retorika kosong.

Petani itu alami
Penduduk pra-Indonesia dikenal sebagai penggarap sawah yang pandai dan begitu mencintai tanahnya. Kita bisa membuka kembali laporan Multatuli dalam opus magnum-nya berjudul Max Havelaar (2014). Multatuli mencatat, secara alami orang Jawa adalah petani. Tanah tempat mereka dilahirkan memberi hasil berlimpah untuk hidup. Mereka dibesarkan di tengah sawah, gagah, dan tipar. Tak sekadar pangan, sawah memberi mereka kegembiraan masa kecil, belajar memahami alam, menghitung usia, juga peruntungan jodoh. Kita simak petikannya: “Secara alami, orang Jawa adalah petani; tanah tempat mereka dilahirkan, yang memberikan hasil berlimpah dengan sedikit tenaga, memikat mereka dan, yang terutama, mereka membaktikan seluruh hari serta jiwa mereka untuk menggarap sawah, dan dalam hal ini, mereka sangat pandai [...] mereka menghitung usia berdasarkan panen; memperkirakan waktu berdasarkan warna dedaunan di sawah. Mereka merasa nyaman berada di antara teman-teman yang memotong padi bersama mereka; mereka memilih istri di antara gadis-gadis desa yang setiap malam menumbuk padi sambil bernyanyi gembira.” (hal. 88-89)

Multatuli menyamakan kondisi pertanian pra-Indonesia ini dengan kondisi pemanenan anggur di sepanjang Sungai Rhine dan di selatan Perancis. Namun, harmoni petani dan tanah itu berubah sejak datangnya kaum kolonialis. Melalui kokangan senjata dan peraturan, kolonialis mengangkat diri sebagai pemilik tanah, dan orang pribumi diperintahkan untuk menggarap tanahnya sendiri demi mengumpulkan keuntungan bagi kolonial.

Saat Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, UU Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang diteken untuk kepentingan kolonial dicabut atas nama kemerdekaan. Soekarno sebagai inisiator ideologi marhaenisme yang memayungi petani dan buruh sadar, bahwa revolusi hanya omong-omong jika perut rakyatnya kosong. Melalui landreform, petani dipertemukan kembali dengan tanah telah melahirkan dan memberi keberlimpahan hidup melalui Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Sayangnya, masa indah itu harus bubar seiring robohnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Soeharto sebagai presiden selanjutnya menjadi algojo atas payung hukum UUPA, dan diganti Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Peraturan inilah yang membangkitkan kembali penguasaan tanah oleh segelintir pihak. Sejumlah tuan tanah dengan permodalan besar kembali mengakuisisi tanah-tanah mereka, bahkan mendapatkan dukungan langsung militer.

Program Revolusi Hijau pun dipancangkan. Sebuah mahakarya Orba yang menjadi mercusuar bagi penggenjotan produksi pertanian bernafas kapital. Dalam program ini, dimulailah impor benih, pupuk kimia, dan traktor atas nama percepatan pembangunan di bidang pangan. Padahal, di satu sisi, dalam waktu yang panjang, bahan-bahan itu tak saja merusak tanah, tapi juga melemahkan ikatan masyarakat petani dengan tanah. Revolusi Hijau telah memindahkan kendali atas sumber daya tanaman dari tangan petani ke tangan perusahaan bibit multinasional dan badan penelitian raksasa seperti CIMMYT dan IRRI (Morgan dalam Faqih, 1997) Di era reformasi, petani justru harus berjuang mempertahankan tanahnya dari deru pembangunan. Lahan pertaniannya terancam berubah menjadi pabrik, mal, toko, hingga perumahan.

Jika kini Perancis telah menjadi salah satu produsen terbaik minuman anggur di dunia, bagaimana dengan pertanian kita? Jangankan soal swasembada pangan, soal kemiskinan, kriminalisasi, pembunuhan, dan kisruh lahan saja masih berjubel banyaknya. Padahal, (menjadi) petani di tanah ini, sebagaimana ditulis Multatuli, adalah bawaan alamiah! Soekarno pun mengedepankan tani sebagai penyokong agenda revolusi.

E. Stiglitz, ekonom peraih Nobel, mengatakan bahwa kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakat adalah buah dari pilihan-pilihan dan keberpihakan pemerintah yang mewujud dalam kebijakan-kebijakannya. Ironis jika mengingat pemerintahan sekarang yang lahir dari rahim pemikiran Soekarno, justru bernafsu kerja menggiatkan pembangunan industri dan investasi perusahaan, bukan mengembalikan marwah pertanian. Padahal, sebelum maju pilpres, ia sempat meminta restu di makam Soekarno. Eling, Pak, eling!

Solopos, 1 November 2016

Petualangan Membaca Jati Diri


Judul               : Supernova Intelegensi Embun Pagi
Pengarang       : Dee Lestari
Penerbit           : Bentang Pustaka
Tahun              : 2016
Tebal               : xiv + 710 hlm; 20 cm
ISBN               : 978-602-291-131-9

Theodor Adorno pernah berujar: “Salah satu hal yang harus ada dalam industri budaya adalah light. Orang akan cenderung mengambil jarak saat harus mempelajari sesuatu yang berat. Mengubah sesuatu yang berat dalam bentuk cerita novel menjadi alternatif yang bisa ditempuh. Novel membentuk dan mengubah sesuatu yang berat menjadi light. Mudah diterima dan ringan untuk dinikmati.

Itu pula yang dilakukan oleh Dewi “Dee” Lestari dalam menggarap Supernova. Dee memasukkan berbagai unsur dan disiplin ilmu, seperti filsafat, adat budaya, kosmopolitan, sains, dan spiritualitas dalam novelnya. Berbagai unsur dan disiplin ilmu itu tidak bisa dikatakan mudah untuk dipelajari orang awam. Dee berhasil meramu, meracik, dan menyuguhkannya dengan apik sehingga pembaca menerimanya dengan light. Karyanya bahkan laku keras di pasaran.

Seri terakhir dari heksalogi Supernova berjudul Intelegensi Embun Pagi (IEP) menjadi saksi kehebatan Dee mengolah cerita dari berbagai unsur dan disiplin ilmu. Sebanyak 10.000 eksemplar ludes terjual di masa pre-order cukup menjadi bukti novel Supernova Intelgensi Embun Pagi (IEP) disukai dan dinanti pembaca.

Berbeda dengan serial sebelumnya yang hanya fokus pada satu tokoh utama, Supernova IEP mengharuskan Dee menyulam cerita dari banyak tokoh dengan karakter dan sifat yang berbeda-beda. Sudut pandang pertama yang sempit diubah menjadi sudut pandang ketiga yang luas. Butuh konsistensi logika yang padu, daya imajinasi yang kuat, dan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan karya yang meramu beragam disiplin ilmu. Tak heran jika Dee membuat blingsatan para kritikus sastra karena karya-karyanya terbilang langka di Indonesia.

Supernova IEP melanjutkan cerita petualangan para Peretas di seri-seri sebelumnya. Di seri ini, dari berbagai lokasi yang berbeda, keterhubungan para tokoh perlahan terkuak. Banyak tokoh yang memunculkan kejutan dalam serial ini. Tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya sebatas figuran berubah menjadi tokoh yang punya peran penting. Identitas dan misi para Peretas pun semakin jelas. Amnesia yang sebelumnya menggelayuti para tokoh perlahan hilang. Pembaca serial Supernova pun semakin memahami konstelasi keseluruhan cerita.

Salah satu ramuan disiplin ilmu yang kentara jelas dalam novel Supernova ini adalah filsafat Buddha. Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan istilah, seperti dhyana, mala, samsara, sunyavima, antarabhava. Tokoh-tokoh dalam heksalogi Supernova merupakan representasi sebuah siklus kehidupan. Para Peretas adalah individu yang dalam tiap siklus reinkarnasi akan mengalami amnesia. Mencapai kesadaran (consciousness) adalah tugas utama para Peretas. Kelompok Infiltran adalah kelompok pembebas yang bertugas untuk membantu Peretas mencapai misi mereka. Sedang kelompok Sarvara (penjaga) bertugas menjaga Peretas agar tetap dalam kondisi amnesia. Pendek kata, Infiltran adalah malaikat yang membantu manusia menuju nirwana, sedangkan Sarvara bak setan yang bertugas menghalangi.

Konsep renkarnasi dalam novel ini senada dengan kajian filsafat Buddha. Kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Manusia akan lahir dan lahir kembali dalam bentuk yang berganti-ganti. Terus begitu sampai akhirnya kesadaran akan kebersatuan dengan alam semesta dan Realitas Yang Satu tercapai (Takwin, 2003: 70)

Jatidiri
Novel ini bukan sekadar cerita petualangan kelompok Sarvara, Infiltran, dan Peretas. Fokus novel ini pun bukan soal cinta, persahabatan, atau kekeluargaan. Kisah-kisah itu sebatas kendara untuk mengantarkan pesan utama ke hadapan pembaca. Novel ini adalah rajutan analogis yang menyuarakan satu wacana penting: pencarian jati diri manusia. Para Peretas adalah representasi dari kebanyakan manusia di dunia nyata yang tidak menyadari jati dirinya. Dikisahkan para Peretas adalah manusia yang mengalami amnesia. Mereka harus berjuang untuk menemukan jati diri mereka sendiri, menyibak kabut amnesia yang menggelayuti.

Dalam heksalogi Supernova, konsep ajaran Zen Buddhisme begitu terasa. Zen berarti meditasi. Namun, meditasi di sini bukan sekadar duduk berjam-jam. Zen adalah jalan untuk memahami kedirian sejati manusia, melepaskan segala belenggu duniawi yang mengikat manusia. Segala hal yang bersifat duniawi akan berubah. Zen mengajak orang melakukan refleksi diri untuk mencari “hal yang tak berubah”. Melepaskan diri dari jebakan konsep, identitas tunggal, dan bahasa yang seringkali memperdaya manusia.

“Inilah kebenaran. Daging yang membungkusmu adalah penjaramu. Memenjarakanmu dalam ilusi keterbatasan. Kamu yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada yang kamu tahu. Tidak ada kejahatan yang lebih keji daripada pengelabuan jati diri. (hal. 618)

Wacana tentang pencarian jati diri yang disuarakan oleh novel ini sangat relevan dengan keadaan sekarang. Di tengah arus modernisasi yang mengglobal, jati diri manusia semakin tergadaikan. Manusia seolah mengalami amnesia. Lupa akan rasa cinta dan kemanusiaan.

Sekarang, sangat mudah menemukan orang membunuh atas nama agama, atas nama ras, atas nama kelompok, atas nama harga diri, atas nama kebenarannya sendiri. Manusia menjadi amnesia karena terjebak dalam konsep, bahasa, dan ilusi yang dibentuk oleh kekuasaan dan ambisi. Secara keseluruhan, petualangan dalam serial Supernova menonjolkan satu pesan, yakni membaca jati diri sehingga mampu lepas dari belenggu penderitaan dunia.

Novel ini menjadi karya dari seniman yang menginginkan kehidupan lebih baik. Sah-sah saja penulis menggunakan perspektif dan kajian apa untuk membangun cerita dalam novel. Sejauh itu mampu memberikan nilai tambah pengetahuan kepada pembaca, entah memakai Budhis, Hindu, atau Islam, tetap tidak jadi masalah. Toh, tujuan sebenarnya adalah edukasi bagi masyarakat luas tanpa tendensius membenarkan perpekstifnya sendiri.

Menyitir Antonio Gramsci, ketika para politisi dan akademisi gagal mengarahkan sekelompok manusia untuk mencapai kondisi yang diinginkan, sudah menjadi tanggung jawab para seniman untuk memanggulnya. Heksalogi Supernova menjadi kontribusi kerja Dee Lestari yang menginginkan masa depan lebih damai.

Kompas, 29 Oktober 2016

Guru Harus Terus Belajar



Sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi guru dinilai baru menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan guru. Sedangkan peningkatan mutu dan kinerja guru masih belum merangkak secara signifikan. Realitas menyedihkan ini dibuktikan dalam kajian riset yang dilakukan oleh Joppe de Ree, Karthik Muralidharan, Menno Pradhan, dan Halsey Rogers (2015) dengan judul Double for Nothing? Experimental Evidence on the Impact of an Unconditional Teacher Salary Increase on Student Performance in Indonesia. Penelitian ini mengambil sampel yang cukup besar, yakni melibatkan 3.000 guru dan 8.000 siswa. Selain itu, dari hasil uji kompetensi guru (UKG) yang diikuti 2.699.516 guru, hanya enam persen saja yang lulus dengan nilai rata-rata 56,69. (Kompas, 30/08/2016)

Kondisi ini cukup membingungkan, sebab di satu sisi muncul pula tuntutan para guru honorer agar mendapatkan sertifikasi. Berbekal sertifikasi, profesi guru mendapatkan gaji bulanan dan tunjangan yang besar. Sayangnya, kesejahteraan tersebut lebih banyak mewujud dalam bentuk-bentuk material yang tidak berhubungan dengan peningkatan profesionalitas.  Kondisi tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Namun, melalui kajian riset cukup mendalam tersebut, kita benar-benar melihat kondisi pendidikan kita yang rapuh.

Secara struktural, kondisi mentalitas guru Indonesia berkait kelindan dengan pelaksanaan kurikulum di sekolah sejak dulu. Meski sistem pendidikan Indonesia kerap dibenahi, namun tidak menyentuh hingga ke akarnya. Kurikulum nasional berorientasi sempit dengan mengekang dan mengarahkan siswa pada orientasi material yang mewujud dalam nilai di atas kertas. Pengekangan itu dilegitimasi lewat banyaknya tugas praktis. Alhasil, waktu untuk mendalami suatu mata pelajaran hingga tahap reflektif pun terampas.

Belajar dimaknai sebatas sekolah. Sedangkan sekolah dimaknai sebatas pencapaian nilai-nilai di atas kertas . Sadar atau tidak, kita telah mewarisi kultur tersebut. Prestasi siswa di sekolah ditentukan oleh akumulasi jumlah rata-rata nilai tiap mata pelajaran. Pun juga dengan cap “sekolah favorit” juga ditentukan dari angka akreditasi. Kita pun dipaksa melahap soal-soal ujian dan buku-buku yang memuat kisi-kisi ujian daripada buku-buku sastra, humaniora, atau sejarah yang kerap tidak muncul di soal-soal penentu “nilai”. Sekolah bukan lagi menjadi langkah mencapai dunia keilmuan dan pemikiran yang mengontruksi perbaikan.

Membaca dan menulis sekadar diajarkan, tetapi tidak dibudayakan sebagai inti dari (ber) sekolah. Capaian (ber)sekolah lebih mengarah pada kesetaraan akademik-administratif dengan tanda bukti ijazah atau surat kelulusan. Pendek kata, sekolah mewarisi mental belajar administratif: ujian, lulus, dan kerja. (Setyaningsih, 2016) Ketika seseorang telah lulus sekolah, maka turut selesai pula belajarnya. Sekalipun telah menjadi guru yang berkecimpung di ranah pendidikan dan intelektual, tapi orientasi mengejar hal-hal material lebih besar daripada kehausan akan ilmu pengetahuan. Guru tidak lagi memperbaharui kasanah keilmuannya, namun justru berfokus pada bagaimana meningkatkan pendapatan gaji dari pekerjaannya.

Terus Belajar

Ada sebuah film yang saya kira patut untuk ditonton oleh calon guru maupun guru itu sendiri. Film berjudul School of Rock mengajarkan kita bahwa kurikulum dan nilai di atas kertas adalah kesalahan terbesar dalam memaknai arti pendidikan. Alkisah, Dewey Finn menyamar sebagai guru pengganti di sekolah borjuis guna memperoleh uang untuk membayar sewa apartemen. Saat masuk kelas pertama kali, Dewey terkejut karena melihat tembok yang penuh dengan bintang dan titik hitam. Bintang berarti prestasi, sedang titik hitam berarti kesalahan. Mengetahui hal itu, Dewey langsung membredelnya. Bila sekolah hanya demi nilai, maka percuma saja. Sebab “value” dan “fail you” terdengar sama saat diucapkan. Dewey pun merevolusi pembelajaran di dalam kelas. Seluruh murid yang sebelumnya belajar musik klasik untuk mencapai nilai tertinggi, diarahkan bermain musik rock yang sesuai dengan gairah para murid. Mereka membentuk band rock dan mengikuti kompetisi. Saat mengetahui band asuhannya kalah, Dewey marah besar. Tapi murid-muridnya justru mengingatkan: “Ini semua bukan soal nilai!”

Dari film itu, kita mendapati sebuah pelajaran sekaligus kritik dari praktik pendidikan kita yang telah mengakar lama. Pendidikan seharunys tidak dikekang oleh kurikulum, dan tidak pula ditakar keberhasilannya dari angka-angka. Pendidikan bukan kerangkeng yang memenjarakan murid-murid dalam sel bernama kelas. Pendidikan bukanlah berorientasi nilai angka-angka, namun proses yang mendorong siswa memaknai bakat dan minatnya tanpa diselimuti oleh bayang-bayang stigma sebagai pelajar bodoh. Belajar tidak hanya di sekolah, namun belajar bisa di mana saja, kapan saja.


Ilmu pengetahuan terus berubah dari waktu ke waktu. Teori dan kajian terus merevisi diri. Tantangan dunia pun makin lama makin kompetitif. Calon guru dan guru harusnya terus mengikuti perkembangan intelektual tersebut. Tak henti untuk belajar demi mengakumulasi pengetahuan sebanyak-banyaknya. Jika guru sekadar menerjemahkan kurikulum nasional secara kaku tanpa melibatkan pembaruan-pembaruan sesuai dengan tantangan, akan jadi apa Indonesia di masa depan?


Tribun Jateng, 20 September 2016

Passion, Tim, dan Inovasi Tiada Henti


Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 255 juta memiliki dua wajah. Di satu sisi, menyimpan potensi berkah, sekaligus pula potensi bencana. Saat ini saja, persoalan yang muncul dari ujung Barat hingga Timur Indonesia tak terhitung jumlahnya. Pemerintah, dengan segala keterbatasannya tak pernah mampu menyelesaikan segala problem penduduk andai sendirian bekerja. Dibutuhkan pemuda-pemuda yang inovatif, kontruktif, dan peka terhadap persoalan yang berjibun banyaknya.

Perkembangan teknologi memulai era baru dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa. Strategi pun berubah. Hadirnya start up menjadi gerbang bagi tersalurnya inovasi dan gairah pemuda untuk turut menyelesaikan masalah bangsa ini. Langkah itu juga menjadi peluang Indonesia menguasai arena tanding di bidang teknologi dunia.  Bukan lagi sebagai penonton, tapi pemain utama.

Hal itu disampaikan oleh Menkominfo Rudiantara dan Dr. Paripurna, M. Hum, wakil rektor UGM dalam sisi pembuka. Start up bergerak dalam koridor yang bergerak cepat, inovatif, dan cair. Undang-undang yang rigid sebagai legalitas kerja harus mampu mengakomodasi koridor teknologi tersebut.

Ketersediaan dana bukanlah modalitas utama dalam start up. Yang lebih dari itu, adanya kesadaran dan “love” terhadap perbaikan bangsa. Sebagaimana diungkapkan oleh Seto Lareno dari GO-JEK, pertama-tama start up membutuhkan kesediaan para pemuda untuk turut serta menginisiasi solusi atas persoalan bangsa yang berjibun.

Setelah itu, tim yang selanggam-setabuhan dalam pencapaian visi dan misi adalah syarat selanjutnya. Tidak sekadar mau, para anggota mesti mengambil bagian kerja yang proporsial agar saling melengkapi. Seumpama mobil yang utuh, start up harus diisi oleh orang-orang yang sevisi, semisi, dan kompeten agar bisa berjalan.

Kerja kelompok menuntut adanya tantangan baru, yakni persinggungan ego masing-masing individu. Ego menjadi penyakit yang merobohkan keutuhan tim, demikian diungkapkan Co-Founder Nebengers, Andreas Aditya Swasti. Tim seharusnya bekerja sebagai tim, bukan sebagai individu. Membangun lingkungan kerja yang baik adalah syarat untuk merangkak ke etape selanjutnya. Produk yang digagas pun harus berangkat dari realitas nyata agar target sasaran lebih tepat. VP of Service and People Operations Salestock Indonesia, M. Ghufron Mutaqim memberikan tips agar membuat client persona sebagai simulasinya.

Data menjadi perihal penting. Beragam data dikumpulkan, dipilah, dan dipilih agar mampu menyusun konsep yang baik. Data agreement dan agnostic my self memberi pandangan yang lebih terukur dari sekadar data statistik, sebab manusia adalah makhluk yang unik.

Pelajaran penting lainnya ada pada sosok Kristupa Siranggih, Founder fotografer.net dan A. Noor Arief, Presiden Dagadu. Dedikasi kerja yang ditunjukkan tak lekang oleh waktu. Inovasi terus dirajut demi melintasi zaman dan segmen pasar. Oleh sebab itu, unsur seperti: Scout local talent, assign, community values, visionary spirit, social control, dan strong leadership sangat penting dipelihara. Semua itu semata-mata agar nyala api start up tidak cepat padam, kemudian hilang.

Start up bukan kerja sehari selesai. Kebutuhan dan persoalan akan terus bergerak seiring waktu berjalan. Kontinuitas dan inovasi tiada henti mutlak dijaga agar mampu menjamah perkembangan zaman. Langkah konkrit mengawali start up adalah memulai dari yang paling mudah dan simpel. Start up adalah ejawantah riil dari dalam diri untuk memberi jalan bagi perbaikan bangsa ini. Oleh sebab itu, nasehat Kristupa pantas diingat: Follow your dream and wear your passion!


M. Irkham Abdussalam
Peserta Ignition 1000 Startup Digital Yogyakarta
Founder Startup HaiDup

Harapan Harus Diperjuangkan


Judul               : Lelaki Tua dan Laut
Penulis             : Ernest Hemingway
Penerjemah      : Sapardi Djoko Damono
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit     : 2016
Tebal               : vi + 102 hlm.; 14 x 21cm
ISBN               : 978-602-6208-88-0

Sebagaimana udara, harapan adalah faktor terpenting dalam kehidupan manusia. Tidak saja sekadar hidup, dengan harapan manusia menghidupi hidup itu sendiri. Aku berharap, maka aku ada! Tanpa harapan, manusia tak lebih dari seonggok daging tanpa arti.

Begitu pesan yang bisa kita petik dari Novel Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway. Novel berkisah kehidupan Santiago, lelaki tua yang berprofesi sebagai nelayan. Umur yang tak lagi muda, tubuh yang tak lagi kekar, dan produktivitas menangkap ikan yang mulai menurun,  sama sekali tak memadamkan api pengharapan Santiago. Selama delapan puluh empat hari melayarkan perahu, tak satu ekor pun ikan berhasil ditangkap. Oleh masyarakat setempat, ia dijuluki salao, yang berarti bentuk terburuk dari ketidakberuntungan.

Ketidakberuntungannya yang mengenaskan bahkan membuat sahabat sekaligus murid mudanya, Manolin dilarang belajar dengan dirinya. Manolin disuruh orang tuanya mencari nelayan yang jauh lebih berhasil. Namun Manolin memilih bersetia. Tetap mengunjungi gubuk Santiago setiap malam, mengangkat peralatan nelayannya, memberi makanan, dan menjadi teman membicarakan bisbol Amerika.

Sisi humanisme diangkat, menghadirkan kisah manusia yang menolak ditaklukkan oleh nasib. Eksistensi diri sebagai manusia menguatkan keberanian Santiago untuk menghidupkan kembali hidupnya. Pergumulan ke dalam diri mencuatkan satu keyakinan, bahwa nasib tak selalu berasal dari langit, pakem dan tak bisa diubah. Nasib juga berasal dari dalam bumi, dapat diubah jika usaha dan harapan dipintal menjadi satu. “Manusia tidak diciptakan untuk ditaklukan”, ujarnya. (hal. 70). Santiago kembali membentangkan layar perahu demi membuktikan dirinya masih bisa menangkap ikan.

Di hari ke delapan puluh lima, ketika ia mencoba sekali lagi peruntungannya di lautan, melayari Gulf Stream di Samudera Atlantik sendirian, umpannya disambarkan ikan. Tak tanggung-tanggung, ikan tersebut berjenis marlin berukuran raksasa. Santiago senang sekaligus susah. Senang, sebab ikan marlin ini akan menjadi bukti bahwa ia tetap nelayan hebat. Susah, karena bertarung melawan ikan marlin dengan ukuran dua-tiga kali lebih besar dari perahunya bukan soal gampang. Berhari-hari, Santiago berjuang sendiri menaklukkan ikan marlin tersebut. Tanpa bekal makanan yang cukup, persiapan seadanya, beberapa botol air minum yang kian menipis, dan seonggok harapan di dalam hatinya.

Novel Lelaki Tua dan Laut adalah karya paling fenomenal milik Ernest Hemingway. Karya sastra yang ditulis tahun 1951 ini meraih penghargaan paling prestise di dunia: Penghargaan Pulitzer tahun 1952 dan Penghargaan Nobel Sastra tahun 1954. Kepiawaiannya menarasikan novel tersebut mempertegas keulungan literatur Hemingway. Gaya penulisannya yang datar, tanpa metafor yang meledak-ledak, membawa pengaruh kuat di dunia fiksi abad 20. Hemingway pun menuturkan, “Saya mencoba untuk menciptakan lelaki tua yang sesungguhnya, anak laki-laki sesungguhnya, laut yang sesungguhnya, ikan yang sesungguhnya, dan hiu yang sesungguhnya.” (Time, 7 Juli 1999).

Pengalaman sebagai jurnalis dan reporter di North American Newspaper Alliance mengasah kejeliannya melihat realita, dan menumpahkannya dalam cerita fiksi. Konon, menurut para kritikus sastra, novel ini banyak terinspirasi dari kisah Gregorio Fuentes. Seorang nelayan asal Kuba yang menjadi pekerja di kapal pribadinya. Hobi Hemingway berlayar dan memancing ikan di atas kapal yacht sangat membantunya menuliskan kehidupan nelayan, suasana dermaga, dan latar lautan secara detail. Mata jurnalistik selalu dituntut meneropong titik cerita yang kuat dan menarik. Dan Hemingway berhasil melakukannya di novel ini.


Hemingway membawa pembaca melayari alur cerita yang bergerak lamban, dengan kata-kata yang nyaris tanpa majas. Pergulatan konflik dalam diri Santiago begitu nyata, melalui dialog-dialog dengan dirinya sendiri di atas perahu. Kedetailan Hemingway menuliskan kata demi kata dalam cerita membangun sensasi ketegangan. Kisah kegigihan Santiago menghadirkan pembelajaran, bahwa harapan akan menyalakan secercah kebahagiaan, seberapa pun suram kehidupan ini. Novel Lelaki Tua dan Laut menjadi semacam perluasan dari kata-kata terkenalnya: “Hidup ini indah dan layak untuk diperjuangkan.” 

Solopos, 17 Juli 2016